Senin, 12 Oktober 2015

Krakatau & Casiopea 3rd di Economics Jazz 2015


Krakatau dan Casiopea adalah 2 group band beraliran jazz fusion yang sempat mengisi relung kehidupan saya di medio 80 an. Saat dimana saya masih kuliah dan kost di kota Padang, dan saat pendulum selera musik saya sedang bergeser dari musik rock ke musik jazz fusion. 
Nama besar seperti Chick Corea dengan elektric band nya, Dave Grusin, Lee Ritenour, Bob James, Casiopea, serta band lokal seperti Krakatau, Karimata, Bhaskara, Emerald menjadi sesuatu yang wajib saya dengar saat itu. 
Karena tinggal di kota kecil, nyaris mustahil rasanya saya bisa nonton secara langsung mereka saat itu, dan barulah lebih dari 30 tahun kemudian sebagian mereka, lewat beberapa event jazz festival bisa saya tonton, Dan anehnya itu terjadi justru saat pendulum selera musik saya balik lagi ke musik rock/metal. Krakatau dan Casiopea, 2 nama ini baru bisa saya tonton di tahun tahun sekarang. Krakatau pertama kali saya tonton di java jazz festival 2014, sedangkan Casiopea meskipun sudah beberapa kali datang, saya selalu berhalangan untuk bisa datang menonton. 
Barulah di tahun 2115, kesempatan itu datang lagi. Lewat sosmed khabar tentang Casiopea dengan embel embel 3rd akan main di Jogja saya terima dan berita gembiranya krakatau akan satu panggung dengan mereka.
Flyer

Lewat kebaikan mas Pramono, saya dan istri bisa mendapatkan tiket konser  tanggal 10 oktober 2015 yang di gelar di Grand Pacific Hall Jogjakarta dengan harga tiket yang bersahabat (yang distilahkan dengan harga angkringan)

Kami berangkat sabtu tanggal 10 Oktober pagi dengan kereta api, dan sesampainya di jogja, sengaja singgah dulu mengisi perut di bakso telkom yang enak pol itu,
Sehabis magrib kamipun berangkat ke Grand Pacific ballroom tempat konser akan berlangsung, dan disana ketemu teman teman dari Jakarta  mas Pramono, mas Pri Ambodo dan bli Rikon yg juga berniat menonton.
bersama concert mate

Entah karena nama besar penampil atau karena harga tiket yang bersahabat, tiket sebanyak 3000 lembar ludes terjual. Tepat pukul 19.30 MC Farhan segera membuka acara dan jreng...Krakatau memulai dengan nomor ‘Kembali Satu’, Sebuah pembukaan yg pas, jelas tergambar sebagian besar penonton adalah mereka yang mengalami masa remaja di 80 an yang akrab dengan Krakatau. Vocal Iie (Trie Utami) sungguh luar biasa, nyaris sama dengan apa yang ada di kaset lebih dari 20 tahun yang lalu dalam melantunkan ‘Kemelut’, ‘Dirimu Kasih’, ‘Perjalanan’, ‘Cita Pasti’ Iie istirahat sejenak dan Krakatau memainakan nomor instrumental ‘Haiti’. Ketidak hadiran Indra lesmana sungguh terasa malam itu, terutama saat lagu ‘Haiti’. Namun secara keseluruhan Dwiki Dharmawan, Pra Budi Dharma, Donny Suhendra, Gilang Ramadhan tampil solid. Setelah ‘Haiti’yang mendapat applaus meriah penonton, Iie kembali masuk dan melantunkan lagu baru ‘Aku Kamu Kita’. Iie begitu trampil menguasai panggung dan mengajak penonton terlibat lewat ‘Imaji’, ‘Ironis’, ‘Seraut Wajah’, ‘Kau Datang’ dan dipuncaki oleh ‘Sekitar Kita’ dan ‘Gemilang’. Krakatau tampil luar biasa meskipun menurut saya masih belum sekuat saat tampil di Java Jazz 2014.  Faktor ketidakhadiran Indra Lesmana memberi pengaruh, namun Krakatau malam itu jelas membangkitkan kenangan akan bahagianya hidup di kamar sempit kost kost an sebagian besar penonton.

Krakatau

Casiopea 3rd yang ditunggu melanjutkan suasana bahagia dengan lagu pembuka ‘Catch the Wind’. Tekhnik tinggi, permainan rapi dari Issei Noro, Akira Jimbo, Yoshiro Naruse, dan Kiyomi Otaka nyaris membuat suasana menjadi datar laksana mendengar musik dari audio player, namun penonton kagum dan bertepuk tanggan saat lagu usai, Entah karena lagu semacam ‘Feel Like a Child' ‘Mode to Start’, ‘Days of Future’ memang kurang akrab bagi sebagian besar peonton yang terbiasa dengan ‘Asayake’, ‘Galactic Funk’, ‘Soundgraphy’ dan sebangsanya.
Barulah setelah drum solo Akira Jimbo dan solo atractive bass dari Yoshiro Naruse (yg bahkan sampai turun panggung dan mendekati penonton dari berbagsi sudut), suasana menjadi bergairah. Saat lagu ‘Pal’ hingga ‘Fightman’, suasana gila gilaan spontan membuncah. 'Fightman' seakan akan menjadi penutup pertunjukan malam itu, mereka pun menghilang dari panggung. Dan setelah kerumunan meneriakkan we want more curanmor, Issei Noro cs segera kembali ke panggung dan nomor yg paling ditunggu ‘Asayake’ segera membuat klimaks malam itu.
Rampung lagu itu Issei Noro cs kembali pamit kepada penonton, dan kerumunan masih meneriakkan we want more curanmor. Akhirnya Casiopea 3rd kembali naik panggung dan menyuguhkan nomor ‘arrow of Time’ yang sayangnya malah menjadi anti klimaks.

Casiopea 3rd

Secara keseluruhan 2 group tampil ini sangat memuaskan penonton yang hadir, termasuk saya dan istri.
Terima kasih Casiopea, Krakatau atas penampilannya dan juga FEB UGM yang telah menghelat acara ini.

Rabu, 14 Januari 2015

Yopie Item & Rien Djamain – Yopie Item Combo


Kaset rilisan Pramaqua  ini termasuk kaset antik yang saya koleksi  dan  saya belum pernah melihat rilusan ini dalam format CD.
Direkam diatas pita master, sampai saat ini kaset ini 35 tahun sejak dirilis, uara yang dihasilkan masih cukup jernih. Terdiri dari 6 lagu di side A dan 5 lagu di Side B, kaset ini  dikemas dalam sleeve yang sederhana.

Adapun tracklist dalam album ini adalah.
Side A
1.Jangan
2.Semusim
3.Setetes Embun
4.Seindah Bunga
5.Kejam
6.Mengapa Susah

Side B
1.Mama
2.Pilihanku
3.Putih
4.Fever
5.Pussycat

Berikut review oleh Denny Sakrie yang telah diterbitkan pada Warta Jazz di November 2009. http://www.wartajazz.com/review/2009/11/01/jopie-item-dan-rien-djamain-jopie-item-combo

Antara Tahun 1975-1978 Jopie Item Combo, merupakan grup jazz rock yang aktif tampil dalam beberapa acara musik di TVRI serta cukup produktif menghasilkan album album bercorak pop jazz yang kadang lebih dikenal sebagai sajian musik jazzy.

Jopie Item Combo terdiri atas Jopie Reinhard Item (gitar,synthesizers), Alex Faraknimella (keyboards), Karim Suweilleh (drums) dan Wempy Tanasale (bass elektrik) serta pemain tamu Romy Katindig, pianis jazz asal Manila Philipina.

Dengan menampilkan sosok Rien Djamain, tampaknya Pramaqua sebagai label ingin mengulang apa yang pernah dilakukan Jack Lesmana saat merilis album Rien Djamain “Api Asmara” melalui label Hidayat Audio Bandung di tahun 1975.

Suara Rien Djamain memang smooth dan jazzy. Warna suara Rien Djamain memang bisa menyatukan dua kubu musik yang berbeda karakter: jazz dan pop. Apalagi eksploitasi musik yang dikembangkan Jopie Item termasuk mampu menyelami relung selera penggemar musik belia. Sentuhan permainan gitar Jopie Item yang terasa banyak dipengaruhi karakter rock yang lugas, membuat album ini memiliki dinamika yang terjaga.

Simak pula pola permainan bass Wempy Tananasale yang cenderung ke groove funk yang menghentak dan bertabur sinkopasi.

Repertoar lagu yang disenandungkan Rien Djamain sesungguhnya merupakan komposisi pop. Namun berkat dibalut arransemen Jopie Item yang terasa banyak memendam elemen progresif, komposisi yang ditampilkan alhasil seperti mengalami sebuah makeover.

Rien Djamain juga menghadirkan sebuah komposisi standar seperti “Fever” yang ditulis pasangan komposer Eddie Cooley dan John Davenport dan juga “Pussy Cat” karya Cy Coleman dan Bill Schluger.

Album ini tepat untuk anda yang baru ingin berkenalan dengan musik jazz. Walaupun sangat disayangkan album ini termasuk album langka yang sudah susah untuk ditemukan dan telah menjadi koleksi para kolektor musik sejati.

Sabtu, 03 Januari 2015

Kenapa Kaset?

Minggu kemarin seperti biasa, saya sempatkan diri mampir ke sebuah toko CD/Kaset yang ada di bilangan Jakarta Pusat. Ini merupakan salah satu toko dari sedikit yang masih bertahan dari gempuran CD bajakan dan derasnya bocoran file audio/Video di dunia maya. Bayangkan album yang belum rilis pun sudah bocor di internet file MP3/Flac nya.

Toko ini masih cukup rame dikunjungi oleh pelanggan, terutama penikmat music yang sudah berumur. Entah alasan cinta fisik atau males/gak tahu cara download yang jelas CD/DVD/Bluray impor dengan harga yang aduhai serta CD band/artis dalam negeri rilisan lokal terlihat masih diminati. 
Disis lain ada rak yang nyaris tidak terlihat di satu sisi toko itu, terdapat susunan kaset pita yang kayaknya luput dari perhatian, iseng-iseng saya tanya berapa harganya?, dijawab oleh pramuniaga bahwa kaset pita  itu dijual Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) untuk 3 kaset. Hah?.....betul dijual 3 kaset Rp 10.000.

Segera saya jongkok dan memelototi satu persatu. Nyaris tak ada yang saya tahu band/artis yang ada dalam susunan kaset itu. Namun mengingat saya punya kepentingan atas kaset itu, maka saya cukup kalap untuk membeli kaset-kaset itu. Total 30 kaset saya bayar, dan diiringi pertanyaan mas pramuniaga di counter: “bapak masih punya player nya”?, saya jawab masih dong….:)

Tumpukan kaset obral itu

Kepentingan apakah yang saya punya atas kaset yang gak jelas itu?, Ya…di tahun 2014 saya lagi suka ngumpulin kaset. Kaset apakah?, Jujur saya sendiri lebih suka mendengar CD atau MP3 karena alasan kualitas audio dan kepraktisan. Lantas mengapa kaset?, ada beberapa alasan yang mendasari yaitu:

  • Faktor nostalgia, karena saya sungguh menikmati masa remaja melalui kaset;
  • Faktor balas dendam, sebagai remaja dan mahasiswa yang belum mempunyai penghasilan tetap, kaset adalah godaan berat yang bisa mengorbankan makan dan kebutuhan lain saat itu;
  • Faktor ingin mendokumentasikan, sebagai penggemar RUSH dan QUEEN saya pingin mengumpulkan semua hal terkait RUSH dan QUEEN sebanyak banyaknya , jadi kalo nemu kaset Queen dan Rush apapun, meskipun albumnya sama tapi beda model dan label saya sikat (berkah jaman kaset bajakan);

Kaset Queen

  • Faktor penasaran, saya juga berusaha melengkapi koleksi kaset label YESS karena unik dan dalam jumlah yang terukur (sekitar 731 judul kaset);

Koleksi YESS

  • Faktor karena tidak ada CD nya untuk rekaman artis/band Indonesia, seperti kita tahu begitu susah untuk mencari rekaman artis Indonesia di era sebelum akhir 80 an dalam format CD. Sungguh buruk dokumentasi pemilik label, sehingga banyak master rekaman yang di timpa untuk merekam lagi. Akibatnya Kaset seperti album For Earth and Heaven Indra Lemana (Alpine Records), album Jazz Vocal Indonesia Margie Segers (Granada), serta album Air Mata Rien Djamain (Hidayat) misalnya tidak akan ditemui dalam format CD nya.


Kaset Indonesia yang tidak dirilis dalam format CDKaset Indonesia yang tidak dirilis dalam format CD

Nah, salah satu kelemahan format kaset artis Indonesia rata rata adalah menggunakan pita kaset berkualitas rendah (mungkin untuk menghemat ongkos produksi). Suara tidak balance, gabus penahan pita di head tape yang gampang aus, pita yang gampang kusut serta reel penggulung pita yang gampang pecah adalah contoh masalahnya.

Reel Pecah
Banyak kaset Indonesia yang saya koleksi pecah reelnya saat diputar, sehingga pita terlepas dan tidak bisa diputar lagi. Sementara tidak ada toko yang menjual onderdil itu, maka kanibalisme adalah jalan keluarnya.
Pita kaset lepas


Nah, kaset obralan tadi yang saya manfaatkan. Setelah saya putar dan tidak sesuai selera saya, maka segera saya sisihkan. Dan jika ada kaset koleksi yang saya sukai, mengalami kerusakan di reel pecah, atau gabus yang aus segera saya ambil obeng kecil untuk merestorasinya. Segera saya buka kaset yang akan direstorasi dan dari kaset baru yang saya tidak sukai, saya ambil komponen dengan membuang pitanya, lantas saya pasangkan ke kaset lama, dan biasanya setelah dilakukan penggantian, maka kaset itupun berjalan mulus lagi.

Operasi Restorasi

Ahhhh…..sungguh keasyikan tersendiri jika melakukan sesuatu yang disukai dan terkait masa lalu yang menyenangkan…