Selasa, 29 Juli 2008

CD GodBless-Apa Kabar?

Album Apa Kabar?
Tahun 1997
Log Zhelebour Production

01 Apa Kabar?
02 Anakku
03 Srigala Jalanan
04 Asasi
05 Diskriminasi
06 Roda Kehidupan
07 Pengamen Kecil
08 Balada si Toha
09 Nurani
10 Kembali


Formasi GodBless pada album ini:

  •      Achmad Albar-Vocal
  •      Ian Antono-Guitar 2
  •      E'et Syahranie-Guitar 2    
  •      Donny Fatah-Bass
  •      Joki Suryoprayogo-Keyboard
  •      Teddy Sujaya-Drum

CD GodBless-18 Greatest Hits Of GodBless

Album 18 Greatest Hits Of GodBless
Tahun 1992
Logiss Records Inc

Disc #1
01 Balada Sejuta Wajah
02 Damai Yang Hilang
03 Menjilat Matahari
04 Rumah Kita
05 Musisi
06 Anak Kehidupan
07 Sesat
08 Trauma
09 Mistery

Disc #2
01 Raksasa
02 Selamat Pagi Indonesia
03 Huma Diatas Bukit
04 Semut Hitam
05 Setan Tertawa
06 Cendawan Kuning
07 Kehidupan
08 Maret 1989
09 She Passed Away

CD GodBless-The Story of

Album The Story of GodBless
Tahun 1990
Logiss Records Inc

01 Huma Diatas Bukit
02 Musisi
03 She Passed Away
04 Raksasa
05 Kehidupan
06 Cendawan Kuning
07 Setan Tertawa
08 Rumah Kita
09 Menjilat Matahari
10 Sesat

Senin, 28 Juli 2008

CD GodBless-Raksasa

Album Raksasa
Tahun 1989
Logiss Records

01 Maret 1989
02 Menjilat Matahari
03 Misteri
04 Emosi
05 Cendawan Kuning
06 2002
07 Pemburu Ilusi
08 Sang Jagoan
09 Anak Kehidupan
10 Raksasa


Formasi GodBless pada album ini:

    * Achmad Albar-Vocal
    * Eet Syahranie-Guitar
    * Donny Fatah-Bass
    * Jockie Suryoprayogo-Keyboards
    * Teddy Sujaya-Drums

CD GodBless-Semut Hitam

Album Semut Hitam
Tahun 1988
Logiss Records

01 Kehidupan
02 Rumah Kita
03 Semut Hitam
04 Damai Yang Hilang
05 Orang Dalam Kaca
06 Ogut Suping
07 Suara Kita
08 Badut Badut Jakarta
09 Trauma
10 Bla…bla…..Bla…

Formasi GodBless pada album ini:
  • Achmad Albar-Vocal
  • Ian Antono-Guitar
  • Donny Fatah-Bass
  • Jockie Suryoprayogo-Keyboards
  • Teddy Sujaya-Drums

CD GodBless-s/t

Album GodBless
Tahun 1975
PT Pramaqua

01 Huma Di Atas Bukit
02 Rock Di Udara
03 Sesat
04 Eleanor Rigby
05 Gadis Binal
06 Friday On My Mind
07 Setan Tertawa
08 She Passed Away


Formasi GodBless pada album ini:
  • Achmad Albar-Vocal
  • Ian Antono-Guitar
  • Donny Fatah-Bass
  • Yockie Soeryoprayogo-Organ, Electic Piano
  • Teddy Sujaya-Drums

Sabtu, 26 Juli 2008

Happy Birthday Mick!

 

Tanggal 26 Juli  merupakan hari kelahiran pentolan Rolling Stones Mick Jagger.
Lahir di Dartford Inggris 26 Juli tahun 1943, berkarir bersama The Rolling Stones sejak tahun 1962, sampai saat ini masih berlenggak lenggok bersama The Rolling Stones.

Saat kebanyakan pensiunan kita sudah pakai tongkat penopang dan didera masalah kesehatan, diusia 65 (sukar dipercaya) opa Mick Jagger masih menebar racun rock'n'roll ke seantero dunia.

Saya pribadi kenal The Rolling Stones lewat grafiti di tembok Baluwarti di kota Solo, serta majalah aktuil kepunyaan om Saya di tahun 70 an.

Rolling Stones dan Mick Jagger menjadi semacam hero saya di tahun 80 an, gara-gara video betamax lets spend the night together yang berisikan konser Rolling Stones di USA, dan disusul dengan album Tattoo You.
Saat itu label kaset bajakan lokal Billboard, mengeluarkan seri 16 kaset The Rolling Stones, dan ada juga dari label Saturn sehingga semakin membuat saya kesengsem akan pesona band ini. (kamar kost saya penuh poster The Rolling Stones saat itu)


Bersama teman-teman sepermainan tiap nongkrong bareng  sambil genjreng-genjreng gitaran mengalirlah The Spider & the Fly, Sister Morphine, Angie, Waiting on a Friend, Honky tonk Woman, Love in Vain dan lain-lain (ah kapan lagi bisa seperti itu..........)

Paling berkesan ketika Mick Jagger main di Senayan, nekad ngluruk ke Jakarta dari padang dengan duit pas-pasan sekedar untuk bisa melihat MicK Jagger (meskipun tanpa Stones) secara langsung.

Sungguh gak nyangka dengan pola hidup yg kacau balau di tahun 70an (alcohol  & drugs) ternyata Mick Jagger gak mati muda dan tetep sehat sampai saat ini.
Brian Jones dan Ian stu Stewart (the 6th stones) sudah meninggal, Mick Taylor dan Bill Wyman udah cabut,  namun Jagger dan Stones terus menggelinding meraup dollar dari konsernya (meskipun gak punya album yang meledak lagi).

Menyaksikan DVD nya secara urutan

  • Stones in the Park di thn 60 an
  • Gimme Shelter di thn 70 an
  • Lets Spend The Night Together di thn 80 an
  • Stones at the Max, Voodoo Lounge Live, Bridges To Babylon Tour di thn 90 an
  • Four Flicks serta The Biggest Bang di thn 2000 an

Rasanya gak banyak yg berubah dari penampilan Mick Jagger, gaya panggungnya tetep loncat kiri kanan, lenggok kiri kanan, lari dari ujung panggung ke ujung lainnya. Secara fisik sungguh luar biasa.

Cuman keriput di wajah yang menjadi beda penampilan dulu dan kini....

Di DVD four flicks diuangkap bahwa olahraga (renang, fitness, jogging) serta ballet menjadi rahasia kekuatan staminanya hingga saat ini.

Usia 65 ini akankah Mick Jagger pensiun?

Entahlah...... godaan panggung dan uang begitu menggelora.....
Saya sendiri masih menyimpan mimpi untuk sekali lagi menonton Mick Jagger lengkap bersama Ron Wood, Keith Richards, Charlie Watts sebagai The Rolling Stones (syukur-syukur Bill Wyman mo gabung lagi).

Happy Birthday Mick! Long Live Rock 'N'Roll

Kamis, 24 Juli 2008

'Rock' Majemuk Sang Ikan

Dikutip dari tulisan Pengamat Musik Denny Sakrie

Tatanan musik Tot Licht begitu kaya. Inilah album terbaik progressive rock di negeri ini setelah Guruh Gypsy.

Setelah sukses melambungkan sederet grup papan atas seperti Sheila On 7, Padi, dan Cokelat dengan penjualan jutaan keping, kini Sony Music Indonesia punya "mainan" baru: Progressive Sony atau disingkat PRS. PRS adalah sub-label Sony yang menampung grup-grup musik marginal atau "terpinggirkan" alias tidak bermain dalam jalur pop mainstream. Mereka, grup musik yang tak pernah dijamah industri musik karena muatan idealisme yang dianggap berseberangan dengan selera pasar, digamit oleh Sony Music Indonesia.

Produk perdana PRS adalah Discus, grup progressive rock yang pernah dua kali tampil dalam event progressive rock internasional: ProgDay di North Carolina, Amerika Serikat (2000), Baja Prog di Meksiko (2001). Album pertama Discus, Discus 1St, bahkan dirilis secara internasional oleh sebuah label independen Italia, Mellow Record. Selain dirilis di Indonesia oleh PRS Record, album kedua, Tot Licht, juga dirilis di Jepang oleh Gohan Records dan di Prancis oleh Musea Records.

Seperti album pertamanya, Discus 1St (Chicoira Productions, 1999), grup yang dimotori gitaris Iwan Hasan ini masih percaya pada konsep musik fusi: menggabungkan sedemikian banyak style musik. Dengan basis rock, Discus, yang didukung delapan pemusik, mengadon musiknya dengan anasir jazz, klasik, folk, dan etnik Indonesia. Bahkan mereka pun kini terlihat berani dengan menampilkan sentuhan metal. Simak saja riff-riff gitar Iwan Hasan yang tegas, tebal, dan sarat distorsi. Permainan drum Hayunaji yang powerful serta dipertegas dengan growl (teknik nyanyi menggeram yang menjadi ciri musik metal) yang dilakukan oleh Ombat Nasution, penyanyi grup metal Tengkorak, menjadi bintang tamu pada lagu Breathe.

Anasir musik yang beraneka ragam ini tampaknya diperlakukan sebagai simbolisasi. Untuk lagu yang cenderung bertendensi kritik sosial seperti System Manipulation dan Breathe, simbol bunyi itu jatuh pada sentuhan metal, yang memang memiliki kesan anger. Dalam atmosfer yang lain, Discus memberi ruang untuk bunyi-bunyian instrumen etnik dari Bali, Kalimantan, ataupun Toraja. Cerdiknya, Discus tidak berupaya memempelaikan instrumen Barat dan Timur, tapi lebih mementingkan hadirnya instrumen tradisional sebagai elemen bunyi. Tak jauh seperti pemahaman musik yang pernah dilontarkan pemusik I Wayan Sadra: mainkanlah instrumen etnik itu dengan mengabaikan pakem. Sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Eberhard Schoener, pemusik Jerman yang mencoba menggabungkan musik rock dengan gamelan Bali pada album Bali Agung (1976), yang terkesan tempelan belaka.

Menyimak musik Discus di album ini, kita seperti tengah menaiki roller coaster. Nyaris tidak ada ruang untuk bernapas. Rhythm dan komposisi melodinya padat. Beat berubah-ubah. Tapi toh mereka tak menampakkan kesan pamer kemampuan. Bahkan dinamika ritme, melodi, dan beat yang tidak konstan ini sepertinya memang diupayakan untuk mendramatisasi tema lirik. Teror musikal semacam ini memang mengingatkan kita pada upaya yang sering dilakukan Frank Zappa. Musik Discus yang bermain tanpa batas musik ini—berlari dari rock, jazz, hingga klasik—memang tak jauh dari apa yang pernah dilakukan pemusik 70-an seperti Frank Zappa ataupun Canterbury Scene, gerakan pemusik Inggris yang berasal dari Canterbury seperti National Health, Egg, Khan, Soft Machine, Matching Mole, yang bereksperimen menampilkan rock dengan dimensi majemuk.

Satu-satunya lagu yang agak menyempal di album ini adalah P.E.S.A.N, yang justru bercorak ear candy. Harmonisasi vokalnya terasa bagai kelompok PAHAMA. Paling tidak, di lagu yang dilatari petikan gitar akustik ini, kebetulan lagu ini ditempatkan pada pertengahan dari susunan 6 lagu album Tot Licht, bisa dijadikan jeda setelah dibombardir deretan lagu yang njelimet. Pada komposisi Music 4.5 Players, Discus menampilkan dialog instrumen biola (Eko Partitur), gitarharpa 21 senar (Iwan Hasan), dan klarinet (Anto Praboe). Sebuah chamber music yang bernuansa kontemporer dan mengingatkan kita pada Dixie Dregs, grup progressive rock-nya gitaris Steve Morse.

Dibanding album sebelumnya, di album Tot Licht ini, selain ingin menyajikan tatanan musik yang kaya dan majemuk, Discus juga ingin serius dalam menggarap tema lirik. Mereka ingin melakukan ekspansi tema, tidak ingin terjebak dalam tema-tema mitologi atau fiksi ilmiah seperti yang menjadi tipikal kelompok-kelompok progressive-rock mainstream di era 70-an seperti Yes atau Genesis. Kritik terhadap perilaku korup, yang masih jadi isu nasional sekarang ini, termaktub dengan lugas dan gamblang pada lagu System Manipulation:

    Ethical manipulation gets justified as such
    Contextual proposition, considered absolute
    You  thinks you're such a noble, you're just another clown
    Manipulate, take advantage, twist meanings as you wish....

Discus pun merasa perlu membolak-balik catatan dua wanita yang tertindas dengan konteks yang berbeda: R.A. Kartini, wanita Jawa yang terbelenggu nilai adat, dan Anne Frank, gadis Jerman Yahudi yang melarikan diri dari holocaust Nazi dan meninggal di Kamp Konsentrasi Belsen pada usia 16 tahun. Dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisikan kumpulan surat-surat Kartini, lalu muncul lagu "Verso Kartini - Door Duisternis tot Licht!". Sedangkan buku harian Anne Frank yang legendaris itu menjadi gagasan utama lagu Anne, yang berdurasi 19,23 menit. Liriknya digarap oleh Fadhil Indra, sang pemencet bilah-bilah kibor.

Kedua lagu ini disajikan dalam gaya naratif dan sedikit berkesan operatic. Lagu ini rasanya punya potensi kuat untuk dikembangkan menjadi semacam opera rock seperti Tommy (Pete Townshend) atau Jesus Christ Superstar (Andrew Lloyd Weber & Tim Rice). Sayangnya, kedua lagu ini terasa sangat mubazir. Padatnya narasi harus tumpang tindih dengan music score yang juga sangat padat. Terlalu menjelas-jelaskan. Sepertinya, Discus tidak begitu yakin pesan dari tema lagu tersebut bisa dipahami pendengarnya. Padahal, dengan hanya menggunakan bunyi-bunyian musik sebagai idiom, sebetulnya Discus mampu bertutur tentang pedihnya penderitaan yang dialami Kartini ataupun Anne Frank, tanpa harus bertutur secara verbal.

Uniknya lagi, Discus menampilkan tematik historis ini dengan interpretasi yang agak nyeleneh. Misalnya, cuplikan surat Kartini terhadap Stella Zeehandelaar dan Ms. Abendanon justru dibacakan oleh suara pria dengan nada geram dan tegas. Atau, gamelan Bali dan kor Kecak menyelimuti aransemen lagu Anne, bukannya musik klasik, musik yang akrab dengan atmosfer Eropa. Dan Tot Licht merupakan album progressive rock terbaik negeri ini setelah Guruh Gipsy, album kolaborasi Guruh Sukarno Putra dengan grup rock Gipsy 27 tahun yang lalu.

* pengamat musik
Majalah Tempo No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003

Menyeruaknya Psychedelia Pop

Dikutip dari tulisan pengamat musik Denny Sakrie
 
 
Efek Rumah Kaca juga geram pada musik pop yang banyak menyanyikan cinta.
Tahun ini adalah tahun invasi band-band dalam industri musik (pop) Indonesia. Sayangnya, sebagian besar justru terjebak dalam keseragaman. Kulminasinya adalah mencuatnya "inflasi" musik pop hingga penikmat musik mengalami kesukaran membedakan antara satu band dan band yang lain.

Hal itu mengingatkan kita pada dasawarsa 1970-an, yang juga disesaki banyaknya band setelah keran yang dibuka Koes Plus mengalir deras. Saat itu, keseragaman identitas pun terjadi, baik dari struktur penulisan lagu maupun lirik. Remy Silado sempat melontarkan kritik bahwa lagu-lagu pop (band) saat itu sarat dengan kata "mengapa" yang menteror kuping.

Tak jauh beda dengan yang terjadi belakangan ini. Simaklah lirik lagu-lagu dari selaksa band yang dijejali kata-kata "selingkuh", "kekasih gelap", "bagai bintang", "bukan pujangga".

Dan seperti yang telah terjadi, di tengah keseragaman itu toh tetap ada yang berupaya untuk mengikisnya dengan menjejalkan karya-karya yang oleh sebagian khalayak awam dianggap menyimpang. Tapi bukan tak mungkin, ketika keseragaman mencapai titik nadir, suguhan musik pengimbangnya yang kerap beroposisi bisa berubah menjadi trend-setter.

Di tengah maraknya keseragaman, menyeruaklah beberapa band yang kebetulan tercerabut dari komunitas indie, yang mencoba menawarkan konsep yang sebetulnya bukan hal baru: psychedelia pop. Konsep ini merebak di Inggris dan Amerika Serikat di paruh dasawarsa 1960-an. Tersebutlah tiga band indie, yaitu Vox, Zeke and The Popo, dan Efek Rumah Kaca, yang masing-masing baru saja merilis album debut tahun ini.

Vox, band asal Surabaya yang terdiri atas Joseph Sudiro (bas, vokal), Vega Antares Setianegra (vokal, gitar), Donnie Setiohandono (keyboard, vokal), dan Gabriel Mayo Riberu (drum, vokal), merilis album Pada Awalnya (Aksara Records). Zeke and The Popo dari Jakarta, yang terdiri atas Khaseli "Zeke" Gumelar (vokal, keyboard), Iman "Babyfaced" Putra Fattah (gitar, sound device), Leonardo "Mugeni" Ringo (gitar), Yudhi "Sideburns" Harry Noor (bas), dan Amir "Kuro" (drum), meluncurkan album Space in the Headline. Adapun Efek Rumah Kaca, yang terdiri atas Cholil (vokal, gitar), Adrian (bas), dan Akbar (drum), muncul dengan album bertajuk Efek Rumah Kaca, yang mengingatkan kita pada penemuan ilmuwan Joseph Fourier pada 1824, yaitu proses atmosfer memanaskan sebuah planet.

Tak jelas kenapa banyak band indie kini yang terpukau pada atmosfer psychedelia, genre yang condong pada gerakan kultur era 1960-an. Psychedelia adalah fenomena bawah tanah kala itu yang kemudian berubah menjadi overground, terutama setelah nama-nama sohor, seperti The Beatles, mulai menyelusupkan elemen psychedelic dalam album Revolver (1966) dan mencapai puncak dengan Sgt Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967). Juga harmoni vokal The Beach Boys dalam album Pet Sounds (1966), yang menjadi inspirasi anak band.

Tak bisa dimungkiri kehadiran elemen psychedelic yang beratmosfer trippy atau alam bawah sadar memang banyak bergumul dalam kitaran efek bunyi-bunyian yang membalut struktur lagu yang memang diakui catchy. Jika ingin mengendus aroma psychedelic dalam sebuah lagu, dipastikan bisa dijumpai anasir seperti suara sitar, glockenspiel, fuzz guitars, efek tape, hingga backward guitar (bunyi gitar yang diputar terbalik).

Simaklah introduksi lagu Jalang, yang dibawakan Efek Rumah Kaca, yang menampilkan sebuah backward dari interlude lagunya. Tata musik kelompok ini memang jelas bermuatan anasir psychedelia, apalagi mereka rasanya juga banyak terpengaruh post-rock ataupun shoegaze, subgenre yang berakar kuat pada gerakan psychedelia 1960-an. Efek Rumah Kaca pun cukup cerdas menuliskan lirik. Misalnya, dalam lagu Di Udara, yang bertutur tentang aktivis Munir:

 
Kubisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati

 
Sebuah paparan lirik yang tak ditemui dalam rimbunnya band-band sekarang, yang hanya menyitir tema cinta yang dangkal. Bahkan trio ini pun geram dengan kondisi industri musik kita sekarang ini dalam lagu Cinta Melulu:

 
Nada nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise

 
Vox bahkan lebih memilih tema persahabatan dalam lagu Ingatkah Pertama:

 
Ingatkah pertama kau terhenti
Dan berjanji untuk mencoba kembali?

Dan Vox sangat terpukau dengan supremasi Beach Boys dan The Beatles. Simaklah nuansa lagu Pada Awalnya, yang mengingatkan kita pada Wouldn't Be Nice-nya Beach Boys (album Pet Sounds). Pada Oh Well, dengan cerdik Vox kembali menyulam aura God Only Knows-nya Beach Boys. Petikan slide gitar pada lagu ini mengingatkan kita pada jati diri George Harrison. Lalu di coda kita diberi ilusi seolah terjebak deja vu All You Need is Love-nya The Beatles dengan tumpukan bunyi-bunyian instrumen tiup yang dimainkan Indra Aziz.

Lagi-lagi aura The Beatles era psychedelic tercium pada lagu Professor Komodo pada album perdana Zeke and The Popo. Kelompok ini sangat tekun menggarap musik, meski terkadang terasa agak berlebihan. Simak saja susupan tiupan saksofon Indra Aziz pada Unrescued World Supposed to Rescued World. Bahkan mereka pun memasukkan unsur orkestral pada interlude yang diarahkan Addie M.S. Sebuah komposisi yang membuat pendengar melayang kehilangan gravitasi. Kemurungan dan keterasingan ala Pink Floyd hingga Radiohead terasa di beberapa komposisi.

Tampaknya Zeke and The Popo memang telah memilih psychedelia sebagai cetak biru musikalnya. Mereka pun menorehkan tag-line pada kemasan albumnya: "an album for lonely people, and for those who are looking for loneliness".

Nah, jika Anda ingin mengasingkan diri dari cengkeraman musik pop (seragam) dari band yang jumlahnya tak terhitung itu, suguhan album dari ketiga band tersebut--Vox, Zeke and The Popo, dan Efek Rumah Kaca--layak disimak.

Denny Sakrie, pengamat musik
Koran Tempo  Minggu, 21 Oktober 2007
 

Selasa, 22 Juli 2008

CD Dewa Budjana-Gitarku

Album Gitarku
Tahun 2007
Sony Music Entertainment Indonesia

01 Kunang-Kunang
02 Dedariku
03 Semarapura
04 Dua Mata
05 Adikku
06 Takana Juo
07 Yang Terindah (live)
08 Papuaku Kini
09 Caka 1922

http://www.dewabudjana.com/v2/discography.php

Gitarku……..hidupku
Gitarku……..kekasihku
Gitarku……..inspirasiku
Gitarku……..karyaku
& kupersembahkan gitarku

You can bring this album to one of your meditation classes, yoga sessions or such, you will find it it’s the right thing to do. Why? It’s relaxing, peace and ease your mind and also your body. This is Dewa Budjana with his guitar releasing second solo album called ‘Gitarku.’

“I’ve always wanted to make a new age kind of album. Doing that you can also have a mean to contemplate and reflecting. That’s why all the compositions that I wrote in this album were intentionally made so simple. I’ve lessen using complicated improvisation and mainly distortion,” express Budjana. Budjana plays ‘Gitarku’ as a reflection of his life journey. Reflecting the peace of his music carrier for years and the good relationships among Indonesian and global musicians.

“I’ve done, learned all kinds of music genre. From Indra Lesmana’s jazz to my recent group GIGI. The loud, distortion sound I pour on GIGI and now I want to reveal my other side. And this is my other side.”

‘Gitarku’ spent one year in a making (1999-2000). Nine songs are all written with a clear concept and theme. “Kunang-Kunang” burst an enchanting harmonization composition from a guitar, Indonesian flute, percussion and a bit of synth touches. A personification of all God creatures that are rarely to find in metropolitan city.

Produce By: SONY Music Entertainment Indonesia

Executive Producer: SONY Music Entertainment Indonesia

All Songs Composed, Arranged & Produced by: Dewa Budjana

String Arr. on Takana Juo by: Dewa Budjana

String Arr. on Caka 1922 by: Aminoto Kosim

Recorded & Mixed at: DB Home Studio

Recording Engineer: Dewa Budjana (except drum track taken by Nandar)

Mixing Engineer: Rudra "The King of Dial"

Mastered by: Hok Lay

Mastered at: Musica Mastering

Production Coordinator: GIGI Management

(www.gigionline.com / gigi@cbn.net.id)

Cover Design & Photography: Jay Subiyakto & Dimas Djayadiningrat

Layout: V-nergi

CD Dewa Budjana-Home


Album Home

Tahun 2005
Sony Music Entertainment Indonesia
Manufactured by PT. Sony Music Indonesia

01 Temple Island
02 On The Way Home
03 Lost Paradise
04 Malacca Bay
05 Dreamland
06 Dancing Tears
07 Bunga yang Hilang
08 Devananda

http://www.dewabudjana.com/v2/discography.php

Home is where the heart is, some say. For others, it is where the hurt is. But be it the source of joy or pain, each of us must long for a familiar place, a place to go back to …a sanctuary.

Many have lost that very place, like our brothers and sisters, the victims of tsunami. Others’ homes continue to be hit by savage attacks, including the recent tragedy in my hometown Bali.

This record aims at uttering my deepest sorrow and compassion. I hope time can heal our wounds, and we can finally find our way home. Home in the harmony with nature, and home in the world without hatred and sheer bigotry.

Executive producer : SONY BMG music ent. Indonesia
Producer : db
All Songs composed/arranged and edited by : db
Manager : Dhani Pette for Post entertainment
US Musicians Coordinator : Peter & Mutzy Erskine
Peter Erskine appears Courtesy of Fuzzy Music
Engineered by
- db
- Kraig Zarkoz (Puck Std , Santa Monica)

Live recorded on May 19th 2005 , for track (Temple Island/Bunga Yg Hilang/Dreamland/Lost Paradise)
- Rich Breen (Puck Std , Santa Monica)

Overdub on August 18th 2005 , for track (Dancing Tears/Malaka Bay/On The way Home)
- Deny (Pregine Std , Bali)

Overdub Gangsa
Mixed by : Stephan Santoso at Slingshot Studio
Mastered by : Khoe Hok Laij at Slingshot Studio
Cover Concept , Art and Design : Dedidude

CD Dewa Budjana-Samsara

Album Samsara

Tahun 2003
Sony Music Entertainment Indonesia
Manufactured by PT. Sony Music Indonesia

01 Nikki iku
02 Rerad rerod
03 Early mornin'
04 Lonely
05 Shambala
06 Lovina
07 Januari
08 Last forest
09 Souvereign hill

http://www.dewabudjana.com/v2/discography.php

Samsara is the Cycle of existence (birth, life and rebirth) conditioned by karma, it is the wheel of suffering that characterized the phenomenon we call life......

Pertengahan Februari ini Dewa Budjana kembali merilis solo albumnya berjudul SAMSARA. Yang istimewa dari album ini adalah proses tak berkesudahan dari musikalitas Budjana sendiri dan juga para musisi kondang tanah air dan mancanegara yang terlibat di dalamnya. Ia mulai mengerjakan album ini di bulan November 2001.

Executive Producer:
SONY Music Entertainment Indonesia

All Songs Composed, Arranged & Produced by:
Dewa Budjana

Publisher:
SONY Music Entertainment Indonesia

Engineer:
Dewa Budjana for all track on mobile recording exept Peter Erskine & Dave Carpenter taken by Dan Pinder at Puck (erskine) Studio

Edited by: Dewa Budjana

Final Edited & Mix by:
Stephen Santoso at Slingshot Studio Jakarta

Mastered by: Khoe Hok Laij at Musika Mastering

Production Coordinator :
Dhani Pette for GIGI Management

Assistant : Diedieth "Bloegh"

Art Work : Rama Vinergi

Photographer : Firdaus Fadlil

Senin, 21 Juli 2008

Digipack atau Jewel, pilih yang mana?

Saat ini dipasaran CD, sering ditemui CD yg dirilis beda tampilan kemasan. Ada yg berformat Jewel Case yg pake kotak bening, dan ada yang berformat digipack yang kayak buku.

Beberapa CD yg saya beli dalam format digipack diantaranya:

  • Death Vomit-The Prophecy
  • Sore-Centralisimo & Ports of Lima
  • Seringai-Serigala Militia
  • Slank-The Big Hips & Slow but Sure
  • Mocca-My Diary
  • Trisum
  • D’Cinnamons-Good Morning
  • Efek Rumah Kaca-ERK
  • Iwan Fals-In Love
  • dlsb/lspt

 CD yg lain umumnya dalam format Jewel Case.

Diluar materi musiknya, saya pribadi lebih suka dalam format Jewel Case yang IMHO lebih gampang & enak disimpan dan terkesan lebih rapih serta mudah dalam pencarian.

Bagaimana pilihan anda….?

Minggu, 20 Juli 2008

Discus di Jakarta Rock Parade 12 Juli 2008




Jakarta Rock Parade yg disetting jadi acara rock lintas generasi merupakan konsep yg bagus, 4 panggung yang ok (park stage, rock lounge stage, tennis outdoor dan tennis indoor) lighting yang keren, sayang dalam pelaksanaan banyak melesetnya.

Karcis yg cukup mahal (200 rb harian + 200 rb special stage) mungkin menjadi salah satu faktor sepinya penonton.
Gw pribadi juga melihat tiadanya magnet besar yg bisa menarik massa (bayangin kalo Iron Maiden bisa hadir...hehehehe ngimpi bener gw....), yg membuat orang segen dateng ke even ini.
melihat lineup Gw cuman pingin dateng di hari ke 3 Minggu 13 Juli, cuman pas Sabtu kok kebetulan anak-anak dan orang rumah pada nonton Dinos Alive di plaza tenggara, jadi ya sekalian aja nonton di Sabtu 12 Juli.
Terjadi stagnasi antar panggung, akibat beberapa band batal tampil. Cuman gw masih puas dengan tampilnya Tengkorak, Trauma, The SIGIT, Lain, Ucok AKA dan Discus yang tampil tanpa Kiki Caloh.
Karena gak bawa kamera, ini ambil beberapa gambar Discus hasil jepretan rekan Troy Norman.

CD Discus-...tot licht!



Album ...tot licht!
Tahun 2003
Interpid Music
Produced by Andi Julias, except "Music 4.5 Players" by Iwan Hasan & Andi Julias

01 System Manipulation
02 "Breathe" feat Ombat Nasution (Tengkorak)-Growl
03 P.E.S.A.N feat Andy Julias
04 Verso Kartini -Door Duisternis Tot Licht!-
05 Music 4.5 Players
06 Anne (adopted by the diary of Anne Frank/Dagboekopen)
07 Misfortune Lunatic feat Godfried L. Tobing on Vocals         

Discus:
  • Fadhil Indra
  • Iwan Hasan
  • Kiki Caloh
  • Anto Praboe
  • Eko Partitur
  • Hayunaji
  • Krisna Prameswara
  • Nonnie

CD Discus-1st


Album 1st
Tahun 1999
Executive production by Mauro Moroni for M.M.Records Productions LTD. and Mellow Records

01 Lamentation & Fantasia Gamelantronique
02 For This Love
03 Doc's Tune
04 Condissonance
05 Dua Cermin
06 Wujudkan!
07 Violin Metaphysics
08 Anugerah
09 Contrasts
    a. Opening & Mediation
    b. Gambang Suling
    c. Q/A & Odd Time Improvisations
    d. Ostinato (metal Attack!)
    e. Lydian Piano Theme & Minor Dance
    f. Gambang Suling

Discus:
  • Iwan Hasan
  • Anto Praboe
  • Eko Partitur
  • Fadhil Indra
  • Hayunaji
  • Kiki Caloh
  • Krisna Prameswara
  • Nonnie
 

Senin, 14 Juli 2008

CD Dreamer-Bait Suci



Album Bait Suci
Tahun 2008
manufactured & released by Dreamland Production Indonesia

01-Intro                     
02-Bait Suci           
03-Keabadian           
04-Mimpi Yang Hilang
05-Kala                    
06-Duka Dunia       
07-Dreamer             
08-Ilusi                   
09-Karbala                 

Dreamer:
Bowo-Keyboards
Yusuf Permana-Bass
Rika Rahayu-Vocals
13Vicky-Guitars
Yani-Guitars

myspace Dreamer

beli CD nya di Marios Place.

Minggu, 13 Juli 2008

Hari Bebas Kendaraan Bermotor-Letjen Soeprapto




Setelah Sudirman-Thamrin, Minggu Tgl 13 Juli, menjadi sejarah baru di Jl. Letjen Soeprapto yg membentang antara Senen sampai prapatan Coca Cola (Cempaka Mas).
Hari itu tidak ada kendaraan bermotor yg bersliweran di Jalur cepat.
Daun angsana yang berguguran tidak tersapu kepinggir oleh derasnya laju kendaraan bermotor terlihat indah mengembalikan memori ke masa lalu.

Sepanjang jalan dipenuhi keceriaan anak-anak dipenghujung liburan sekolah mereka.
Ada yg nyepeda, main badminton, main futsal, bahkan ada yg tidur-tiduran.....
Sungguh kebahagian yg jarang terlihat....

Anak kota tak punya tanah lapang......

seperti lirik lagu Iwan Fals di album Belum Ada judul

Jakarta Rock Parade, Day 3




Beberapa foto yg sempet diambil di Hari ke 3 Jakarta Rock Parade 2008