Tatanan musik Tot Licht begitu kaya. Inilah album terbaik progressive rock di negeri ini setelah Guruh Gypsy.
Setelah sukses melambungkan sederet grup papan atas seperti Sheila On 7, Padi, dan Cokelat dengan penjualan jutaan keping, kini Sony Music Indonesia punya "mainan" baru: Progressive Sony atau disingkat PRS. PRS adalah sub-label Sony yang menampung grup-grup musik marginal atau "terpinggirkan" alias tidak bermain dalam jalur pop mainstream. Mereka, grup musik yang tak pernah dijamah industri musik karena muatan idealisme yang dianggap berseberangan dengan selera pasar, digamit oleh Sony Music Indonesia.
Produk perdana PRS adalah Discus, grup progressive rock yang pernah dua kali tampil dalam event progressive rock internasional: ProgDay di North Carolina, Amerika Serikat (2000), Baja Prog di Meksiko (2001). Album pertama Discus, Discus 1St, bahkan dirilis secara internasional oleh sebuah label independen Italia, Mellow Record. Selain dirilis di Indonesia oleh PRS Record, album kedua, Tot Licht, juga dirilis di Jepang oleh Gohan Records dan di Prancis oleh Musea Records.
Seperti album pertamanya, Discus 1St (Chicoira Productions, 1999), grup yang dimotori gitaris Iwan Hasan ini masih percaya pada konsep musik fusi: menggabungkan sedemikian banyak style musik. Dengan basis rock, Discus, yang didukung delapan pemusik, mengadon musiknya dengan anasir jazz, klasik, folk, dan etnik Indonesia. Bahkan mereka pun kini terlihat berani dengan menampilkan sentuhan metal. Simak saja riff-riff gitar Iwan Hasan yang tegas, tebal, dan sarat distorsi. Permainan drum Hayunaji yang powerful serta dipertegas dengan growl (teknik nyanyi menggeram yang menjadi ciri musik metal) yang dilakukan oleh Ombat Nasution, penyanyi grup metal Tengkorak, menjadi bintang tamu pada lagu Breathe.
Anasir musik yang beraneka ragam ini tampaknya diperlakukan sebagai simbolisasi. Untuk lagu yang cenderung bertendensi kritik sosial seperti System Manipulation dan Breathe, simbol bunyi itu jatuh pada sentuhan metal, yang memang memiliki kesan anger. Dalam atmosfer yang lain, Discus memberi ruang untuk bunyi-bunyian instrumen etnik dari Bali, Kalimantan, ataupun Toraja. Cerdiknya, Discus tidak berupaya memempelaikan instrumen Barat dan Timur, tapi lebih mementingkan hadirnya instrumen tradisional sebagai elemen bunyi. Tak jauh seperti pemahaman musik yang pernah dilontarkan pemusik I Wayan Sadra: mainkanlah instrumen etnik itu dengan mengabaikan pakem. Sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Eberhard Schoener, pemusik Jerman yang mencoba menggabungkan musik rock dengan gamelan Bali pada album Bali Agung (1976), yang terkesan tempelan belaka.
Menyimak musik Discus di album ini, kita seperti tengah menaiki roller coaster. Nyaris tidak ada ruang untuk bernapas. Rhythm dan komposisi melodinya padat. Beat berubah-ubah. Tapi toh mereka tak menampakkan kesan pamer kemampuan. Bahkan dinamika ritme, melodi, dan beat yang tidak konstan ini sepertinya memang diupayakan untuk mendramatisasi tema lirik. Teror musikal semacam ini memang mengingatkan kita pada upaya yang sering dilakukan Frank Zappa. Musik Discus yang bermain tanpa batas musik ini—berlari dari rock, jazz, hingga klasik—memang tak jauh dari apa yang pernah dilakukan pemusik 70-an seperti Frank Zappa ataupun Canterbury Scene, gerakan pemusik Inggris yang berasal dari Canterbury seperti National Health, Egg, Khan, Soft Machine, Matching Mole, yang bereksperimen menampilkan rock dengan dimensi majemuk.
Satu-satunya lagu yang agak menyempal di album ini adalah P.E.S.A.N, yang justru bercorak ear candy. Harmonisasi vokalnya terasa bagai kelompok PAHAMA. Paling tidak, di lagu yang dilatari petikan gitar akustik ini, kebetulan lagu ini ditempatkan pada pertengahan dari susunan 6 lagu album Tot Licht, bisa dijadikan jeda setelah dibombardir deretan lagu yang njelimet. Pada komposisi Music 4.5 Players, Discus menampilkan dialog instrumen biola (Eko Partitur), gitarharpa 21 senar (Iwan Hasan), dan klarinet (Anto Praboe). Sebuah chamber music yang bernuansa kontemporer dan mengingatkan kita pada Dixie Dregs, grup progressive rock-nya gitaris Steve Morse.
Dibanding album sebelumnya, di album Tot Licht ini, selain ingin menyajikan tatanan musik yang kaya dan majemuk, Discus juga ingin serius dalam menggarap tema lirik. Mereka ingin melakukan ekspansi tema, tidak ingin terjebak dalam tema-tema mitologi atau fiksi ilmiah seperti yang menjadi tipikal kelompok-kelompok progressive-rock mainstream di era 70-an seperti Yes atau Genesis. Kritik terhadap perilaku korup, yang masih jadi isu nasional sekarang ini, termaktub dengan lugas dan gamblang pada lagu System Manipulation:
Ethical manipulation gets justified as such
Contextual proposition, considered absolute
You thinks you're such a noble, you're just another clown
Manipulate, take advantage, twist meanings as you wish....
Discus pun merasa perlu membolak-balik catatan dua wanita yang tertindas dengan konteks yang berbeda: R.A. Kartini, wanita Jawa yang terbelenggu nilai adat, dan Anne Frank, gadis Jerman Yahudi yang melarikan diri dari holocaust Nazi dan meninggal di Kamp Konsentrasi Belsen pada usia 16 tahun. Dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisikan kumpulan surat-surat Kartini, lalu muncul lagu "Verso Kartini - Door Duisternis tot Licht!". Sedangkan buku harian Anne Frank yang legendaris itu menjadi gagasan utama lagu Anne, yang berdurasi 19,23 menit. Liriknya digarap oleh Fadhil Indra, sang pemencet bilah-bilah kibor.
Kedua lagu ini disajikan dalam gaya naratif dan sedikit berkesan operatic. Lagu ini rasanya punya potensi kuat untuk dikembangkan menjadi semacam opera rock seperti Tommy (Pete Townshend) atau Jesus Christ Superstar (Andrew Lloyd Weber & Tim Rice). Sayangnya, kedua lagu ini terasa sangat mubazir. Padatnya narasi harus tumpang tindih dengan music score yang juga sangat padat. Terlalu menjelas-jelaskan. Sepertinya, Discus tidak begitu yakin pesan dari tema lagu tersebut bisa dipahami pendengarnya. Padahal, dengan hanya menggunakan bunyi-bunyian musik sebagai idiom, sebetulnya Discus mampu bertutur tentang pedihnya penderitaan yang dialami Kartini ataupun Anne Frank, tanpa harus bertutur secara verbal.
Uniknya lagi, Discus menampilkan tematik historis ini dengan interpretasi yang agak nyeleneh. Misalnya, cuplikan surat Kartini terhadap Stella Zeehandelaar dan Ms. Abendanon justru dibacakan oleh suara pria dengan nada geram dan tegas. Atau, gamelan Bali dan kor Kecak menyelimuti aransemen lagu Anne, bukannya musik klasik, musik yang akrab dengan atmosfer Eropa. Dan Tot Licht merupakan album progressive rock terbaik negeri ini setelah Guruh Gipsy, album kolaborasi Guruh Sukarno Putra dengan grup rock Gipsy 27 tahun yang lalu.
* pengamat musik
Majalah Tempo No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003
Setelah sukses melambungkan sederet grup papan atas seperti Sheila On 7, Padi, dan Cokelat dengan penjualan jutaan keping, kini Sony Music Indonesia punya "mainan" baru: Progressive Sony atau disingkat PRS. PRS adalah sub-label Sony yang menampung grup-grup musik marginal atau "terpinggirkan" alias tidak bermain dalam jalur pop mainstream. Mereka, grup musik yang tak pernah dijamah industri musik karena muatan idealisme yang dianggap berseberangan dengan selera pasar, digamit oleh Sony Music Indonesia.
Produk perdana PRS adalah Discus, grup progressive rock yang pernah dua kali tampil dalam event progressive rock internasional: ProgDay di North Carolina, Amerika Serikat (2000), Baja Prog di Meksiko (2001). Album pertama Discus, Discus 1St, bahkan dirilis secara internasional oleh sebuah label independen Italia, Mellow Record. Selain dirilis di Indonesia oleh PRS Record, album kedua, Tot Licht, juga dirilis di Jepang oleh Gohan Records dan di Prancis oleh Musea Records.
Seperti album pertamanya, Discus 1St (Chicoira Productions, 1999), grup yang dimotori gitaris Iwan Hasan ini masih percaya pada konsep musik fusi: menggabungkan sedemikian banyak style musik. Dengan basis rock, Discus, yang didukung delapan pemusik, mengadon musiknya dengan anasir jazz, klasik, folk, dan etnik Indonesia. Bahkan mereka pun kini terlihat berani dengan menampilkan sentuhan metal. Simak saja riff-riff gitar Iwan Hasan yang tegas, tebal, dan sarat distorsi. Permainan drum Hayunaji yang powerful serta dipertegas dengan growl (teknik nyanyi menggeram yang menjadi ciri musik metal) yang dilakukan oleh Ombat Nasution, penyanyi grup metal Tengkorak, menjadi bintang tamu pada lagu Breathe.
Anasir musik yang beraneka ragam ini tampaknya diperlakukan sebagai simbolisasi. Untuk lagu yang cenderung bertendensi kritik sosial seperti System Manipulation dan Breathe, simbol bunyi itu jatuh pada sentuhan metal, yang memang memiliki kesan anger. Dalam atmosfer yang lain, Discus memberi ruang untuk bunyi-bunyian instrumen etnik dari Bali, Kalimantan, ataupun Toraja. Cerdiknya, Discus tidak berupaya memempelaikan instrumen Barat dan Timur, tapi lebih mementingkan hadirnya instrumen tradisional sebagai elemen bunyi. Tak jauh seperti pemahaman musik yang pernah dilontarkan pemusik I Wayan Sadra: mainkanlah instrumen etnik itu dengan mengabaikan pakem. Sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Eberhard Schoener, pemusik Jerman yang mencoba menggabungkan musik rock dengan gamelan Bali pada album Bali Agung (1976), yang terkesan tempelan belaka.
Menyimak musik Discus di album ini, kita seperti tengah menaiki roller coaster. Nyaris tidak ada ruang untuk bernapas. Rhythm dan komposisi melodinya padat. Beat berubah-ubah. Tapi toh mereka tak menampakkan kesan pamer kemampuan. Bahkan dinamika ritme, melodi, dan beat yang tidak konstan ini sepertinya memang diupayakan untuk mendramatisasi tema lirik. Teror musikal semacam ini memang mengingatkan kita pada upaya yang sering dilakukan Frank Zappa. Musik Discus yang bermain tanpa batas musik ini—berlari dari rock, jazz, hingga klasik—memang tak jauh dari apa yang pernah dilakukan pemusik 70-an seperti Frank Zappa ataupun Canterbury Scene, gerakan pemusik Inggris yang berasal dari Canterbury seperti National Health, Egg, Khan, Soft Machine, Matching Mole, yang bereksperimen menampilkan rock dengan dimensi majemuk.
Satu-satunya lagu yang agak menyempal di album ini adalah P.E.S.A.N, yang justru bercorak ear candy. Harmonisasi vokalnya terasa bagai kelompok PAHAMA. Paling tidak, di lagu yang dilatari petikan gitar akustik ini, kebetulan lagu ini ditempatkan pada pertengahan dari susunan 6 lagu album Tot Licht, bisa dijadikan jeda setelah dibombardir deretan lagu yang njelimet. Pada komposisi Music 4.5 Players, Discus menampilkan dialog instrumen biola (Eko Partitur), gitarharpa 21 senar (Iwan Hasan), dan klarinet (Anto Praboe). Sebuah chamber music yang bernuansa kontemporer dan mengingatkan kita pada Dixie Dregs, grup progressive rock-nya gitaris Steve Morse.
Dibanding album sebelumnya, di album Tot Licht ini, selain ingin menyajikan tatanan musik yang kaya dan majemuk, Discus juga ingin serius dalam menggarap tema lirik. Mereka ingin melakukan ekspansi tema, tidak ingin terjebak dalam tema-tema mitologi atau fiksi ilmiah seperti yang menjadi tipikal kelompok-kelompok progressive-rock mainstream di era 70-an seperti Yes atau Genesis. Kritik terhadap perilaku korup, yang masih jadi isu nasional sekarang ini, termaktub dengan lugas dan gamblang pada lagu System Manipulation:
Ethical manipulation gets justified as such
Contextual proposition, considered absolute
You thinks you're such a noble, you're just another clown
Manipulate, take advantage, twist meanings as you wish....
Discus pun merasa perlu membolak-balik catatan dua wanita yang tertindas dengan konteks yang berbeda: R.A. Kartini, wanita Jawa yang terbelenggu nilai adat, dan Anne Frank, gadis Jerman Yahudi yang melarikan diri dari holocaust Nazi dan meninggal di Kamp Konsentrasi Belsen pada usia 16 tahun. Dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisikan kumpulan surat-surat Kartini, lalu muncul lagu "Verso Kartini - Door Duisternis tot Licht!". Sedangkan buku harian Anne Frank yang legendaris itu menjadi gagasan utama lagu Anne, yang berdurasi 19,23 menit. Liriknya digarap oleh Fadhil Indra, sang pemencet bilah-bilah kibor.
Kedua lagu ini disajikan dalam gaya naratif dan sedikit berkesan operatic. Lagu ini rasanya punya potensi kuat untuk dikembangkan menjadi semacam opera rock seperti Tommy (Pete Townshend) atau Jesus Christ Superstar (Andrew Lloyd Weber & Tim Rice). Sayangnya, kedua lagu ini terasa sangat mubazir. Padatnya narasi harus tumpang tindih dengan music score yang juga sangat padat. Terlalu menjelas-jelaskan. Sepertinya, Discus tidak begitu yakin pesan dari tema lagu tersebut bisa dipahami pendengarnya. Padahal, dengan hanya menggunakan bunyi-bunyian musik sebagai idiom, sebetulnya Discus mampu bertutur tentang pedihnya penderitaan yang dialami Kartini ataupun Anne Frank, tanpa harus bertutur secara verbal.
Uniknya lagi, Discus menampilkan tematik historis ini dengan interpretasi yang agak nyeleneh. Misalnya, cuplikan surat Kartini terhadap Stella Zeehandelaar dan Ms. Abendanon justru dibacakan oleh suara pria dengan nada geram dan tegas. Atau, gamelan Bali dan kor Kecak menyelimuti aransemen lagu Anne, bukannya musik klasik, musik yang akrab dengan atmosfer Eropa. Dan Tot Licht merupakan album progressive rock terbaik negeri ini setelah Guruh Gipsy, album kolaborasi Guruh Sukarno Putra dengan grup rock Gipsy 27 tahun yang lalu.
* pengamat musik
Majalah Tempo No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003
6 komentar:
memang tob
Terakhir lihat mereka live, di Jakarta Rock Parade....
4 lagu...maknyuzzz
mmg album paling topppp!!!
jauh dari album perdana yg banyak pop nyah.....
fav tracknya yg mana mas Chev?
yg album kedua ??? = semua kecuali PESAN
kenapa?,
apa terkesan kayak VG mas Chev?
Tapi ditengah-tengah menjelang menit ke 3, gitar & stringnya enak tuh...
Posting Komentar